tirto.id - Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menuturkan kebijakan penghentian pembelian minyak goreng MinyaKita menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dinilai sangat tepat.
“Persyaratan KTP sudah sedari dulu sangat menjadi pro kontra yang sangat besar di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, penghapusan syarat KTP ini untuk membeli MinyaKita yang sedang mengalami kelangkaan menjadi angin segar bagi masyarakat,” tutur Trubus ketika dihubungi Tirto, Minggu (12/2/2023).
Menurut Trubus penggunaan KTP sebagai syarat transaksi pembelian menyebabkan proses transaksi yang terbelit-belit dan membuat masyarakatsusah mendapatkan kebutuhan pokoknya, khususnya minyak goreng.
Syarat yang sulit apalagi menyangkut menggunakan data pribadi dinilai akan sangat meresahkan.
Menurut Trubus pemerintah harus bergerak cepat mengatasi kelangkaan MinyaKita di pasaran. Apalagi, sebentar lagi akan memasuki momen puasa Ramadan dan lebaran Idulfitri pada Maret sampai April 2023.
“Saya khawatir ada kesengajaan dengan kelangkaan minyak tersebut. Sebab, sebentar lagi kita akan dihadapkan dengan menjelang Ramadan dan Lebaran. Saya harap pemerintah segera mengusut kelangkaan tersebut,” ujar Trubus.
Trubus khawatir dengan adanya indikasi minyak goreng curah yang di kemas ulang menjadi minyak goreng bermerek, dan dilempar ke pasar–pasar tradisional dengan harga yang sangat tinggi.
Modus tersebut dinilai akan sangat menguntungkan pihak penjual dan pengoplos. Sebab, penjualan minyak goreng rakyat harus mematuhi harga Domestic Price Obligation (DPO) dan Harga Eceran Tertinggi (HET) yakni Rp14.000 per liter dan minyak curah Rp15.500 per liter.
“Di pasar Kramat Jati pada saat itu, saya kesana dan minyak goreng disana dijualnya mahal sekali dari Rp15.000 sampai yang tertinggi Rp17.000 per liter. Itu menurut saya tinggi sekali dan ada yang tidak beres dengan persoalan minyak goreng ini,” ucap Trubus.
“Harga minyak yang didistribusikan ke pasar–pasar tradisional, harus lebih murah dan harganya sudah sesuai dengan peraturan Permendag,” tambah Trubus.
Menurut Trubus, patokan harga Rp14 ribu yang sudah ditetapkan oleh pemerintah saat ini oleh sebagian besar pedagang sengaja tidak dipatuhi demi keuntungan mereka dan juga faktor kelangkaan MinyaKita.
Lalu, yang Trubus takutkan saat ini dengan semakin tidak terkontrolnya harga minyak goreng di pasaran, pemerintah akan lepas tangan serta tidak memberikan perlindungan bagi para konsumen khususnya untuk masyarakat miskin.
Sebelunya, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan mengatakan pembelian minyak goreng rakyat atau MinyaKita tidak perlu menggunakan KTP.
"Nanti dipasang, pembeli hanya bisa beli 2 liter atau 2 botol (per hari per orang). Ya repot, repot [pakai KTP], dipasang itu saja sudah cukup," ujar Zulkifli Hasan usai melepas ekspor produk usaha kecil dan menengah (UKM) di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (10/2/2023) dilansir dari Antara.
Zulkifli memastikan bahwa penjualan MinyaKita hanya dapat dilakukan di pasar tradisional. Ini merupakan upaya untuk mencegah kelangkaan minyak goreng yang diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu.
"Jualan online kita stop, grosir kita stop, sekarang fokus ke pasar tradisional. Jadi kalau nyari MinyaKita ya ke pasar, karena itu kan untuk masyarakat yang ke bawah. Yang lain beli premium dong," katanya.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) baru saja mengeluarkan kebijakan baru tentang pembelian MinyaKita. Berdasarkan Surat Edaran No 3 Tahun 2023 tentang Penjualan Minyak Goreng Rakyat, pembelian MinyaKita hanya diperbolehkan 10 kilogram per orang dan per hari.
"Penjualan Minyak Goreng Rakyat oleh pengecer kepada konsumen paling banyak setara 10 kg (sepuluh kilogram) per orang per hari," kata Plt Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Kasan.
Lebih lanjut, penjualan MinyaKita tidak boleh menggunakan mekanisme bundling atau dijual dengan produk lainnya.
"Penjualan Minyak Goreng Rakyat sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak diperkenankan menggunakan mekanisme bundling dengan produk lain," ujar Kasan.
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Bayu Septianto